Beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan deretan bencana kebakaran besar yang menghanguskan lahan, hutan, rumah, bahkan harapan. Israel dan Amerika Serikat menjadi dua negara yang paling sering muncul dalam berita mengenai kebakaran masif. Api seakan-akan tidak hanya membakar pohon-pohon dan perumahan penduduk, tetapi juga menyentuh kesadaran manusia untuk bertanya: ada apa sebenarnya?
Di Israel, gelombang kebakaran hutan sering terjadi saat musim panas datang. Pada tahun-tahun terakhir, suhu ekstrem dan kekeringan panjang telah menjadi penyebab utama. Di sisi lain, di Amerika, terutama di wilayah barat seperti California dan Oregon, kebakaran hutan menjadi rutinitas tahunan yang semakin parah. Tahun 2023 dan 2024 mencatat rekor baru dalam luas area yang terbakar.
Namun, benarkah ini sekadar gejala alam biasa? Atau ada pesan yang lebih dalam yang sedang disampaikan kepada umat manusia?

Antara Iklim dan Kelalaian
Ilmuwan menjelaskan bahwa perubahan iklim adalah penyebab utama meningkatnya risiko kebakaran. Peningkatan suhu global memperpanjang musim kering, membuat hutan-hutan lebih mudah terbakar. Selain itu, aktivitas manusia yang lalai, seperti api unggun yang tidak dipadamkan dengan benar atau sistem listrik yang rapuh, turut menjadi pemicu.
Namun, di balik penjelasan ilmiah itu, ada renungan spiritual yang patut kita cermati. Banyak tokoh spiritual dan pemikir besar mengajak manusia untuk tidak hanya melihat bencana sebagai peristiwa fisik, tapi juga sebagai cermin dari kondisi moral dan spiritual masyarakat.
Renungan dari Sebuah Bencana
Dalam bukunya “The Book of Awakening,” Mark Nepo menulis:
“We often need a disaster to break down the illusion of control and bring us to the real work of being human.”
(Kita sering membutuhkan bencana untuk meruntuhkan ilusi kendali dan membawa kita kembali pada tugas sejati menjadi manusia.)
Bencana, dalam hal ini kebakaran, bisa jadi adalah bentuk panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai kehidupan yang telah dilupakan: menghargai alam, menjaga relasi sosial, dan merawat bumi sebagai rumah bersama. Kita terlalu sibuk membangun gedung tinggi dan teknologi canggih, namun lupa bahwa bumi ini punya hukum keseimbangan yang tidak boleh dilanggar.
Api sebagai Simbol
Dalam banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan, api bukan hanya simbol penghancur, tetapi juga pemurni. Di dalam Alkitab, api melambangkan kehadiran Tuhan yang menyucikan, bukan sekadar membinasakan. Di dalam budaya Yahudi sendiri, api memiliki makna spiritual yang dalam—menjadi alat untuk menyampaikan pesan dari langit.
Ketika kebakaran melanda tanah suci, seperti yang terjadi di Yerusalem dan Haifa beberapa waktu lalu, beberapa pemimpin agama mengajak umat untuk merenung, bukan hanya mengutuk alam. Mereka bertanya: apakah ini akibat dari dosa kolektif kita terhadap bumi dan sesama?
Amerika: Negeri Maju yang Terbakar
Amerika adalah negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar di dunia. Namun kekuatan itu tidak cukup untuk menghentikan api yang menyebar begitu cepat. Kebakaran hutan di California bahkan sampai menyebabkan langit berubah warna menjadi merah pekat, seolah menggambarkan amarah alam yang tak terbendung.
Leonardo DiCaprio, seorang aktor sekaligus aktivis lingkungan, pernah berkata:
“Climate change is real, it is happening right now. It is the most urgent threat facing our entire species, and we need to work collectively together and stop procrastinating.”
(Perubahan iklim itu nyata, dan sedang terjadi saat ini juga. Ini adalah ancaman paling mendesak bagi seluruh umat manusia, dan kita harus bekerja bersama untuk menghentikan penundaan ini.)
Tanda Zaman atau Alarm Kesadaran?
Bagi sebagian orang, serentetan kebakaran ini bukan sekadar bencana alam. Mereka melihatnya sebagai “tanda zaman”, peringatan agar umat manusia segera bertobat, memperbaiki diri, dan mengembalikan keseimbangan hidup.
Apakah kita akan terus menonton kebakaran demi kebakaran tanpa melakukan perubahan mendasar dalam cara hidup kita? Ataukah kita akan mulai mendengar pesan dari balik kobaran api itu?
Kembali ke Kesadaran
Bencana, seperti kebakaran di Israel dan Amerika, bisa menjadi panggilan untuk berhenti sejenak. Untuk menengok kembali relasi kita dengan bumi, dengan Tuhan, dan dengan sesama. Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya memadamkan api dengan alat, tetapi juga memadamkan ego, keserakahan, dan kelalaian dalam diri kita sendiri.
Sebab seperti kata filsuf Stoik, Seneca,
“Fire tests gold, and adversity tests strong men.”
(Api menguji emas, dan kesulitan menguji manusia sejati.)