Review antologi puisi “Bukan Malin Kundang” karya Mukti Sutarman Espe ini membuat saya seperti disadarkan untuk merenungkan momentum-momentum penting dalam hidup saya. Beberapa puisi dalam antologi ini seperti mengingatkan saya dan menyindir dengan sangat metaforis.
Antologi puisi ini merupakan buku antologi tunggal yang ketiga. Kumpulan puisi tunggal sebelumnya, yaitu “Bersiap Menjadi Dongeng” (terbit tahun 2013), disusul “Menjadi Dongeng” (terbit tahun 2019). Antologi “Bukan Malin Kundang” ini kebanyakan ditulis ketika masa pandemi Covid 19, ketika penulis berada dalam situasi cemas.
Di usianya yang tak bisa dibilang muda lagi, Mas Mukti Sutarman Espe masih mampu mempertahankan produktivitas sebagai penyair. Puisi-puisinya semakin sederhana dan matang. Cara bertuturnya yang khas, lugas dan sangat memperhatikan persajakan, pembaca pasti akan dengan mudah mengenali gayanya.
Antologi puisi autobiografi
“Bukan Malin Kundang” disebut sebagai antologi puisi yang menggambarkan perjalanan hidup atau autobiografi Mas Mukti Sutarman Espe.
Tentu saja, penyebutan tersebut sah dan make sense, karena 90 puisi yang termuat di dalam antologi ini didudukkan sebagai rekaman peristiwa-peristiwa hidup penyairnya.
Dilihat dari cover depan yang terkesan sangat alegoris, sebuah lukisan rumah tinggi dengan lantai dan atap bertingkat-tingkat, dengan sempurna menggambarkan sebuah perjalanan hidup yang dinamis.
Kisah-kisah yang disusun dalam bait-bait puisi, kita tak hanya menikmati peristiwa-peristiwa perjalanan hidup, tetapi juga makna hidup. Pelajaran hidup dari seorang tua, adalah catatan penting buat saya yang berusia jauh di bawahnya.
Perhatikan salah satu judul dalam antologi puisi ini
Buku Tanpa Judul
*bapak*
tidak banyak
yang bisa kuceritakan tentang bapak
selain kenangan yang kurang enak
di mataku ia serupa hal tak terduga
kadang seperti kali mati
kali yang airnya tak ngalir ke mana-mana
genang cuma sebagai kubang
kadang seperti buku tak terbaca
buku yang tansah tertutup paginanya
isinya sukar diterka
karena tiada judul di sampingnya
bapak lelaki pembenci matahari
di teriknya ia lebih suka mengeluh
ketimbang berpeluh
di….
tetapi, ah, sudahlah
apa pun tetaplah ia bapakku
lelaki yang menurunkan diriku
segala kekurangan dan kelebihannya
tetap kusunggi sebagai pusaka
kupikul sejauh tinggi kupendam sejauh dalam
2021
Ya. Kesadaran tertinggi seorang anak tak lain adalah menerima apa adanya orang tua yang telah mengupayakan anak hingga seperti ini. Seperti halnya orang tua yang menerima apapun kondisi seorang anak sebagai anak.
Mungkin terasa berat. Tapi, menerima apa adanya dengan ikhlas adalah bentuk kedewasaan tertinggi. Perasaan kecewa terhadap seorang ayah tetap melahirkan bahasa indah untuk perjalanan hidup anak-anaknya. Ayah tetap menjadi panduan berharga, tak ternilai, meski kadang tak bisa diduga.
Puisi adalah ruang penyadaran
Seringkali hidup memang begini. Sejumlah peristiwa menempatkan penyair dalam situasi yang sulit dan getir. Suatu ketika terjadi perpisahan, suatu ketika ada sejumlah pertanyaan yang sulit menemukan jawaban. Apakah kita kemudian berhak menjadi hakim yang gelisah?
Bukan Malin Kundang
“engkaulah si malin kundang itu?”
“bukan, aku tidak mendurhakaimu, ibu.”
“tapi, kau pergi meninggalkanku, ibumu.”
“bukankah ibu berkehendak begitu?
“aku tidak pernah memintamu tak kembali.’
“sebenar-benarnya pergi adalah tak kembali.”
(di stasiun tawang orang pergi-datang
dengan berbagai tujuan
di bergota orang mengantar yang pulang
dengan bermacam perasaan)
“sebegitu mudah aku kau lupakan?”
“tak semudah yang ibu bayangkan.”
“kenapa hubungan kita jadi begini?”
“karena ibu bukan yang dulu lagi.”
“kemestian yang memaksaku berubah.”
“itu yang membikin kita benar berpisah.”
“seyogyanya tanpa luka jiwa.”
“kita berpisah dengan legawa.”
“tapi, kenapa kau masih gelisah juga, nang?”
“sebab aku bukan malin kundang.”
(di tanjung mas sebuah kapal bertolak
entah ke mana
di ahmad yani sebuah pesawat mendarat
entah dari mana)
Jika hidup itu secercah cahaya, akhirnya cahaya itu sampai pada pintu rumah kita; membawa kita pulang bersama cinta dan kasih sayang sebagai oleh-oleh dari pencarian sepanjang jalan yang jauh.
Review antologi puisi ini merupakan simpulan dari episode-episode pada pulang yang pasti akan datang.
….
kuketuk lembut dinding hati mereka
membuka daun pintu dan jendelanya
mengalirkan cahaya cinta ke dalam
ruang yang masih temaram
Selamat menikmati sambil… jangan lupa minum kopi.
Ingin memiliki antologi puisi Bukan Malin Kundang, kunjungi Buku Tajug.